Menurut Kepala Unit Peluang Ekonomi / Head of Economic Opportunities Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Trissia Wijaya, aktivisme, terutama dari kaum muda, penting untuk membantu meredam dan mengurangi bahaya, ancaman dan risiko terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi yang timbul dari transformasi digital yang juga sedang terjadi di Indonesia.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivisme digital di Indonesia melalui pemanfaatan teknologi telah mendorong berbagai aktivitas masyarakat sipil di negara demokrasi seperti Indonesia,” ujarnya melansir dari keterangan resmi, Rabu (20/7/2022).
Namun dalam webinar dua hari bagi mahasiswa mengenai HAM dan Demokrasi yang digelar CIPS pada 18 Juli 2022, Trissia juga mengatakan transformasi digital membawa berbagai permasalahan, seperti mudah tersebarnya berita bohong, konten pornografi, dan penyebar kebencian dan kekerasan dan sebagainya.
Baca Juga: Muncul Risiko Moderasi Konten, Pemerintah Perlu Revisi Permenkominfo 5/2022
Trissia mengatakan digitalisasi masih menghadapi beberapa tantangan dalam lanskap regulasi maupun praktik di lapangan, seperti siapa yang memiliki hak atas konten dan bertanggung jawab atasnya, serta moderasi konten yang berlebihan yang justru melanggar kebebasan individu.
"Ke depannya, diperlukan peran aktif pemerintah serta kolaborasi berbagai pihak terutama media konvensional dan platform digital dalam agenda mendukung digitalisasi yang demokratis, sehat, inklusif, dan berkualitas. Di sisi lain dari generasi muda, sebenarnya adalah pilar dari digitalisasi yang demokratis dan inklusif ini, baik dalam perannya sebagai user maupun content provider,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Program Assistant for Democracy Project di Friedriech Naumann Foundation Indonesia, Ganes Woro Retnani membeberkan, Index Demokrasi dari Economist Intelligence Unit menempatkan demokrasi Indonesia di urutan ke 52 dari 167 negara di tahun 2021 dengan skor 6.71 serta menyebutnya sebagai “flawed democracy” atau demokrasi yang belum sempurna.
Di sampng itu, Freedom House juga menempatkan Indonesia di peringkat 59 dari 100 negara dalam indeks kebebasannya.
"Walaupun HAM, termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin Undang-Undang Dasar 1945 serta berbagai perundangan lainnya, pemerintah perlu aktif menjelaskan hak-hak yang dijamin tersebut serta merevisi perundangan yang banyak dianggap mengekang kebebasan berpendapat di ranah digital, seperti Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," jelas Ganes.
Ia mengatakan perlu literasi digital yang baik untuk mengkonsumsi informasi di era digital. Masyarakat juga perlu pengetahuan memadai mengenai hak-haknya, termasuk di ranah digital, dan disini pentingnya mendorong kegiatan untuk literasi digital, termasuk melalui aktivisme.