Surabaya - Dipercayai sebagai bulan keramat, Suro dinilai memiliki berbagai pantangan bagi masyarakat suku Jawa. Apa benar demikian?
Salah satu penganut ilmu supranatural asal Surabaya, Bintang Timur Diponegoro mengungkap beragam pantangan itu sebagai perbedaan adat yang dipercayai oleh orang Jawa.
Keturuan ke-6 Pangeran Diponegoro itu membeberkan, dari beragam petualangan spiritualnya, mayoritas leluhur Jawa memang menyarankan agar momen Suro dipakai untuk melakukan pendekatan kepada Tuhan dan alam.
"Antara kepercayaan dan adat, sama keyakinan ini selalu bertentangan. Jadi memang nggak bisa dipatenkan. Kalau menurut saya nduwe gawe itu boleh, asal jangan pernikahan, kalau khitanan itu malah bagus," ujar Bintang kepada jatimnow.com, Selasa (26/7/2022).
Berkaca pada sejarahnya, leluhur memang tidak menyarankan masyarakat Jawa menggelar aktivitas yang bersifat berat. Seperti menggelar pernikahan, merenovasi rumah, atau membangun bisnis.
Aktivitas-aktivitas berat tersebut dikhawatirkan membuat masyarakat lupa dengan momen Suro sebagai bulan tirakatan atau momen terbaik untuk menjalankan ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
"Jadi Suro itu adalah kegiatan yang berhubungan dengan alam, karena kalau kita berkegiatan membangun rumah, atau merubah tatanan rumah itu kan pasti ada slametan dan lain-lain, jadi sibuk, lupa waktu," jelas Bintang.
Bintang memandang Bulan Suro sebagai waktu yang tepat di mana alam membuka seluruh pintu ghaibnya. Dengan demikian, segala keinginan atau doa yang dipanjatkan mustajabah atau dikabulkan.
Hingga saat ini, masih kata Bintang, malam 1 Suro dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Jawa sebagai yang dikeramatkan. Sehingga lokasi-lokasi keramat sering kali menjadi tujuan para penganut ilmu-ilmu supranatural.
Di Jawa Timur, Alas Purwo yang berada di Banyuwangi menjadi tujuan utama untuk melangsungkan meditasi, bertapa, berdoa, untuk melatih kebatinan dengan Tuhan dan alam.
"Itu rame sekali Alas Purwo kalau momen Suro, kayak pasar sudah, dari berbagai daerah," jelas Bintang.