REPUBLIKA.CO.ID, Penduduk di kampung itu memanggilnya Nin Enuy, tertulis di KTP nama aselinya Nurhayati dengan tanggal lahir 21 Oktober 1945, tubuhnya masih belum terlihat renta, gerakannya masih cukup gesit, rambutnya memang sudah hampir semua beruban meskipun terlihat ada yang masih hitam, jalannya masih tegak dengan langkah kaki yang cukup cepat untuk seorang nenek dengan usia 80 tahun. Nin Enuy tinggal sendiri di rumahnya, rumah panggung berbahan kayu yang masih terawat, dia tinggal sebatang kara, seingat penduduk desa itu tidak pernah ada saudaranya yang berkunjung, meskipun tamu Nin Enuy banyak tapi itu karena Nin Enuy seorang dukun beranak, demikian penduduk desa menyebutnya.
Keahlian Nin Enuy adalah seputar kehamilan dan persalinan, dia bisa membalikkan bayi yang sungsang sehingga lahir tetap kepalanya dahulu, Nin Enuy juga bisa mengetahui seorang perempuan akan punya anak berapa, kesulitan hamil atau tidak dan sebagainya, bahkan konon katanya bisa mengetahui seorang pria mandul atau tidak dengan hanya meraba pergelangan tangannya. Keahlian Nin Enuy sudah terkenal hingga ke beberapa kota sekitarnya, itu terlihat dari plat-plat nomor kendaraan luar kota yang datang berkunjung.
Pagi hampir beranjak siang, embun pagi perlahan mulai terangkat karena tersinari matahari yang mulai bersinar putih, Agus dan Luki berjalan beriringan menyusur pematang sawah kemudian berbelok ke jalan seukuran gang yang disemen, terlihat oleh mereka Nin Enuy sedang menyapu halaman depan rumahnya, banyak daun mangga, daun rambutan dan daun sawo yang sudah jatuh mengering, semua disapu oleh Nin Enuy, rumah kayu berwarna krem yang masih terlihat kokoh dengan kaca jendela yang membuka kesamping, khas rumah-rumah desa tradisional, rumah ini adalah rumah pertama yang mereka jumpai jika berjalan dari sawah dan rumah terakhir jika masuk dari awal gang jalan desa.
“.. Assalamu’alaikum..” Agus menyapa uluk salam.
“.. Wa ‘alaikum salaam..” jawab Nin Enuy ramah.
“.. Bade kamana sep.. “ Tanya Nin Enuy lagi, Asep adalah panggilan umum kepada anak muda di tatar sunda, meski namanya Agus atau Luki tetap akan dipanggil Asep di awal pertemuan.
“.. Bade ka enin..” kata Luki menjawab ramah dan berhenti melangkah dan sedikit membungkukkan badan dengan tangan yang disilangkan di depan pinggang, tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri, suatu sikap hormat anak muda kepada orang tua.
Sejenak Nin Enuy memandangi mereka berdua, Agus dan Luki berpakaian rapi keduanya memakai jas almamater dengan logo perguruan tinggi di dada kanan, Nin Enuy paham mereka adalah mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata di desanya.
“.. Oh mangga kalebet..” kata Nin Enuy sambil menyandarkan sapu lidinya di pohon mangga, di bergegas melangkah menuju rumah.
Rumah itu rumah panggung yang setiap tiangnya disangga oleh kaki dari bahan batu andesit yang dipahat hingga berupa kubus tinggi, disanalah tiang utama rumah berpijak, setiap sisi memiliki empat batu pijakan dengan jarak antar batu pijakan sekira dua meter. Rumah itu ternyata memiliki teras, orang sunda biasa menyebutnya tepas, disitu terdapat sebuah kursi panjang, meja dan dua buah kursi pendek, Agus dan Luki segera duduk disana. Nin Enuy masuk kedalam rumah..
“..Dilebet sep..” katanya sambil melangkah ke arah dapur.
“.. Wios nin didieu we raoseun..” kata Agus. Sejenak mereka benar-benar merasakan suasana desa yang khas Indonesia, betapa tidak, duduk di teras dengan kursi kayu dan menikmati pemandangan sawah terhampar didepan. Indah sekali bagai dalam lukisan.
Tak lama Nin Enuy keluar dengan membawa nampan berisi dua gelas teh dan sebuah toples berisi rangginang.
“.. wios nin teu kedah ngarerepot..” kata Luki bermah tamah.
Selanjutnya adalah percakapan mereka bertiga, mereka memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang sedang KKN, kegiatan apa saja yang akan mereka laksanakan di desa itu, Nin Enuy mendengarkan dengan seksama, mereka ngobrol diselingi tawa ramah tamah..
Air teh hangat mereka belum lagi diminum ketika tiba-tiba datang beberapa orang tamu, dua orang pria dan seorang Ibu yang sedang hamil besar, ibu hamil itu dipapah oleh seorang pria yang sepertinya adalah suaminya, dan seorang lagi yang terlihat lebih tua, bercambang, kumis dan berjenggot, pria tua ini memakai topi model pelaut berwarna hijau tua, kulitnya menghitam namun tetap terlihat kekar meski banyak kerutan.
Nin Enuy sudah paham apa yang harus dilakukan, dia ambil alih lengan ibu hamil tadi dan memapahnya ke arah ranjang yang ada di ruangan tengah itu, membaringkan ibu hamil di ranjang itu dan segera menutup gordennya. Ternyata ada rel yang berbentuk persegi menempel diatas ranjang tadi yang jika kain gorden ditarik semua maka ranjang itu akan tertutup sempurna.
Pak Tua bertopi pelaut segera duduk di kursi depan bersama Luki dan Agus. Inginnya para mahasiswa itu segera pergi karena kuatir mengganggu, tapi rasa ingin tahu Luki memutuskan mereka untuk tetap duduk di kursi itu. Nin Enuy keluar dari lingkupan gorden itu dan berjalan menuju kamarnya, sejenak dia keluar dengan smartphone di tangannya, menekan nomor-nomor dan menelpon seseorang diseberang sana. Tak lama kemudian datang seorang perempuan mengenakan baju putih panjang khas perawat, dia menenteng tas dan bergegas masuk, mestinya perempuan itu semacam asisten Nin Enuy..
Perempuan asissten perawat itu masuk dan menutup pintu depan, tinggalah mereka bertiga duduk di teras depan. Tidak ada obrolan di antara mereka karena suasana tegang proses persalinan, setengah jam berlangsung dalam diam, Pak tua bertopi pelaut meski tetap terlihat tenang tetapi matanya sesekali menatap ke arah rumah dan mengernyitkan dahi seakan mengingat sesuatu dengan susah payah, tangan kanannya diletakkan diatas lututnya sambil mengetuk-ngetukan jari tangannya.
Tak lama kemudian terdengar suara tangis bayi dan mereka bertiga kompak mengucap alhamdulillah, Pak tua bertopi pelaut mengangat kedua tangannya, mulutnya komat kamit kemudian menyapukan tangan ke wajahnya dan menarik nafas panjang, tiba-tiba dia menjulurkan tangan ke kedua mahasiswa itu untuk mengajak bersalaman. Luki dan Agus merasakan telapak tangan pak tua bertopi pelaut itu kasar dan kuat, tercermin ketegasan dalam genggaman tangannya.
Tak lama berselang pria suami ibu hamil tadi keluar, dia langsung menghambur ke pelukan pak tua bertopi pelaut itu, lama mereka berpelukan, si pria muda terisak dalam pelukan pak tua, pak tua menepuk nepuk pundaknya. Ibu dan bayinya selamat, semua baik-baik saja. Kemudian mereka kembali duduk, Luki dan Agus menyalami suami ibu hamil itu dan mengucapkan selamat.
Pintu ruang tamu terbuka, Nin Enuy keluar hendak memanggil suami si ibu hamil, saat itulah pak tua bertopi pelaut itu seperti terkesima menatap Nin Enuy..
“.. Nur..” hanya kata itu yang keluar dari mulut Pak Tua, sambil membuka topinya, terlihat bagian atas kepalanya sudah botak dengan rambut yang hampir semuanya memutih..
Nin Enuy sejenak terkesiap, panggilan Nur kepada dirinya adalah panggilan masa lalu yang sudah berpuluh tahun lewat, Nin Enuy menatap Pak tua itu dengan pandangan penuh tanda tanya..
“.. Aku Jarwo..” kata Pak tua itu sambil terus menatap lurus ke matanya Nin Enuy.
Perlahan mata Nin Enuy membesar, dia melotot seakan bola matanya hendak lompat keluar, Nin Enuy menutup mulutnya dan melongo seakan melihat hantu didepannya.
“.. Aku Jarwo..” ucap pak tua itu lagi, sambil menepuk-nepuk dadanya.
Nin Enuy tak kuasa menahan diri, dia seperti hendak menyalami pak tua itu tapi tangannya menuju ke kedua bahu pak tua dan mengguncang-guncangnya, pak tua itu menggenggam kedua punggung tangan Nin Enuy yang kali ini mulai menangis, kedua tangannya menutup mukanya. Pak tua merengkuh bahu Nin Enuy dan memeluknya, Nin Enuy terisak di pelukan pak tua, cukup lama, dan semua itu disaksikan dengan baik oleh kedua mahasiswa seakan mereka sedang menonton adegan klimaks dari sebuah film.
“.. Aku mencarimu setelah Ambarawa, hingga Magelang..” kata pak tua yang ternyata bernama Jarwo dengan lirih, diapun mulai terisak dan mengusap-usap punggung Nin Enuy.
Nin Enuy segera tersadar bahwa masih ada tugas menantinya, dia segera beranjak dari pelukan Pak tua Jarwo, menghapus air matanya, menatap Jarwo sejenak dan berbalik menuju rumah, Nin Enuy harus segera menyelesaikan prosesi persalinan yang sedang dia kerjakan. Pak tua Jarwo kembali duduk, masih sedikit terisak, kepalanya tertunduk, kedua tangannya ditautkan, sesekali dia seka air matanya.
Kedua mahasiswa segera beranjak dari duduk mereka, air teh mereka minum langsung habis, mereka bersalaman dengan pak Tua Jarwo dan melangkah pergi, mereka berdua berjalan dalam diam seakan baru mendapat sebuah gambaran kehidupan yang tak pernah terbayangkan.
------------------
Sebenarnya Luki dan Agus sangat ingin mengunjungi lagi Nin Enuy, tapi mereka ragu apakah Nin Enuy baik-baik saja meskipun hampir satu minggu setelah peristiwa itu berlangsung, hari ini mereka kembali berjalan berdua melewati pematang sawah dan mengharap ada Nin Enuy sedang menyapu atau sedang duduk di teras rumahnya, mereka ingin sekali ngobrol, tapi kalau Nin Enuy tidak kelihatan sedang diluar merekapun tak berani langsung mengetuk pintu rumahnya.
Ternyata harapan mereka dikabulkan Sang Pemilik Semesta, Nin Enuy terlihat di depan teras rumahnya sedang merapikan bunga-bunga yang ditanam di pot, melihat mereka Nin Enuy menyapa..
“.. Eeh bade kamarana asep..” sama Nin Enuy.
Mereka seakan mendapat keberuntungan besar.
“.. Bade ka Enin..” kata Luki memberanikan diri..
“.. Oh.. mangga atuh lalebet..” kata Enin lagi.
Luki membuka pintu pagar kayu rumah Nin Enuy, duduk dan seperti kemarin Nin Enuy menyuguhkan teh hangat lengkap dengan camilan kampung.
Seperti tahu apa yang mereka inginkan, Nin Enuy bercerita tentang apa yang terjadi.
Dulu Nin Enuy adalah pejuang kemerdekaan, dia bagian perawat sekaligus dapur militer, Pak tua Jarwo adalah kapten, dia seorang penembak runduk, karena posisi tugasnya itu maka kapten Jarwo selalu lebih dulu memasuki daerah yang akan direbut, kemudian setelah pasukan darat masuk timnya Kapten Jarwo selalu mundur ke garis belakang untuk melindungi pasukan darat dalam pertempuran langsung. Kapten Jarwo adalah orang yang paling dicari oleh Belanda untuk dibunuh, kepalanya berharga ribuan gulden, oleh karena itu kapten Jarwo selalu menghilang dikala siang dan menjadi teror bagi Belanda di kala malam.
Ada cinta yang hangat dan rajutan masa depan antara Nin Enuy dan Kapten Jarwo, tetapi karena model tugasnya Kapten Jarwo membuat mereka sulit bertemu. Pada pertempuran Ambarawa Nin Enuy tertembak di bahunya, kondisi ini membuatnya harus dirawat dalam waktu lama, situasi perang dan minimnya alat komunikasi membuat mereka berpisah, setelah Ambarawa dikuasai TNI kapten Jarwo besama timnya berjalan menuju Magelang untuk direbut.
Dari sana mereka berpisah, Nin Enuy kembali ke desa dan menempati rumah orang tuanya ini, sambil mengurus orang tuanya hingga keduanya meninggal, Nin Enuy menanti Mas Jarwo selama berpuluh tahun, hingga kemarin itu mereka bertemu kembali, selama masa itu banyak pria yang datang kepada Nin Enuy, tapi hatinya tak juga terbuka untuk selain Mas Jarwo. Nin Enuy berceritera sambil matanya menerawang jauh ke masa-masa silam, sesekali dia menyeka air mata, sesekali terdiam mengumpulkan ingatan. Banyak yang mengatakan bahwa Mas Jarwo sudah meninggal dan mayatnya tak ditemukan, tapi Nin Enuy tidak pernah percaya, meski kadang juga percaya, sepanjang hidupnya Nin Enuy berada dalam kontradiksi pergulatan bathin yang akhirnya membuat hatinya pasrah tak lagi mengingat Mas Jarwo meski tak jua mampu melupakannya.
-------------
Hari- hari setelah itu Luki dan Agus selalu melihat sebuah mobil jip warna hijau terparkir di pinggir jalan desa, tepat di sebelah gang semen yang menuju rumah Nin Enuy. Dalam perjalanan aktifitas KKN mereka sering melihat Nin Enuy dan Pak Tua Jarwo duduk berdua di depan teras rumah itu, Pak tua Jarwo sering melambaikan tangan tangan dan mengajak mampir jika mereka melihat kedua mahasiswa itu lewat didepan rumah mereka.
Tiga bulan berlalu tak terasa, waktu-waktu mereka berkegiatan di desa itu hampir habis, dua hari lagi bis jemputan kampus akan tiba, Luki dan Agus serta empat orang teman mereka harus meninggalkan desa itu, dan ketika waktunya tiba mereka harus berpisah, diadakan upacara perpisahan di aula desa, Luki dan Agus mencari-cari Nin Enuy dan Pak tua Jarwo, ingin berpamitan dan ingin kapan-kapan berkunjung, tapi pasangan itu tidak ada.
Luki bergegas menghampiri Kepala Desa sesaat setelah acara perpisahan selesai..
“.. Pak Kades..” Luki memanggil sekaligus membuat Pak Kades berhenti berjalan dan membalikkan badan.
“.. Saya tidak melihat Nin Enuy di acara tadi..” katanya ke Pak Kades.
“.. Oh..” kata pak Kades..
“.. Mereka berdua kemarin kesini, mengajukan surat nikah, tapi agak kesulitan mencari perwakilan orang tua dari pihak Nin Enuy, dia sebatang kara, maka saya rujuk ke kantor kecamatan untuk mendapatkan wali nikah..”
“.. Alhamdulilaah.. “ kata Luki dalam senyum bahagia.
“.. Kapan mereka menikah pak..?” kata Luki
“.. Nah itu saya juga belum dikabari, nanti deh saya WA di grup ya kalau sudah ada kabar..” kata Pak Kades.
“.. Terima kasih pak, saya tunggu kabarnya..” kata Luki sambil menjabat tangan Pak Kades. Pak Kades mengangguk dan segera berlalu, di kantornya terlihat sudah ada tamu yang menunggu.
------------
Di dalam bis perjalanan menuju kampus, Luki tercenung sendiri dengan pengalaman yang dia dapat selama kegiatan ini, tiba-tiba dahinya mengerut, ada sesuatu yang mengetuk-ketuk di kepalanya, segera dia buka smartphone, googling mencari peristiwa Ambarawa dan Magelang..
Google berikan informasi di wall utamanya :
Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran bersejarah yang terjadi antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan rakyat Indonesia melawan Tentara Inggris dan Belanda pada tahun 1945 di wilayah Ambarawa dan Magelang, Jawa Tengah. Pertempuran ini berlangsung dari tanggal 20 November hingga 15 Desember 1945.
Jika pertempuran Ambarawa dan Magelang terjadi tahun 1945, estimasikan Nin Enuy sudah jadi perawat umur 20 dan Kapten Jarwo berumur 30, maka sekarang berapa sesungguhnya umur mereka..?? Luki terkesiap dan terdiam..
Bis melaju tenang di sela-sela keramaian..