Jumat 29 Jul 2022 06:09 WIB

Membaca Al-Quran pada Waktu Shalat Terbalik Urutannya

Membaca Al-Quran pada Waktu Shalat Terbalik Urutannya

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Membaca Al-Quran pada Waktu Shalat Terbalik Urutannya - Suara Muhammadiyah
Membaca Al-Quran pada Waktu Shalat Terbalik Urutannya - Suara Muhammadiyah

Membaca Al-Quran pada Waktu Shalat Terbalik Urutannya

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya imam dalam salat jamaah membaca al-Quran dalam satu surat terbalik urutannya? Dalam rakaat pertama membaca:

آمَنَ الرَسُوْلُ بِمَا أُنْزِلَ  sampai denganفَانْصُرْنَا عَلَي اْلقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ [الْبَقَرَةُ : 285-286]

Pada rakaat kedua membaca:

وَ إِذاَ سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي  sampai denganلَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ [البقرة: 186]

Nyak Mat, Desa Ujung Batu Kec. Labuhan Haji Aceh (disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan.

Pada dasarnya sunnah Rasulullah saw dalam membaca surat al-Qur’an ketika menjadi imam sungguh sangat berbeda dengan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di tengah umat Islam. Perbedaan tersebut terdapat dalam beberapa hal. Pertama, Rasulullah saw jarang sekali membaca ayat-ayat al-Quran yang sangat pendek. Ketika salat subuh misalnya, beliau biasa membaca surat Qaf pada rakaat pertama dan surat ar-Rum pada rakaat kedua. Beliau juga terkadang membaca surat at-Takwir untuk rakaat pertama dan al-Zilzalah untuk rakaat kedua (HR Ahmad). Hanya dalam kondisi perjalanan (safar) saja beliau membaca surat pendek seperti al-Falaq dan an-Nas. Dalam salat zuhur demikian juga. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menerangkan hal tersebut:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ لَقَدْ كَانَتْ صَلاَةُ الظُّهْرِ تُقَامُ فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقْضِى حَاجَتَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْتِى وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى مِمَّا يُطَوِّلُهَا [رواه مسلم]

Artinya: “Dari Abu Said al-Khudriy, ia berkata: suatu ketika salat zuhur ditunaikan, lalu seseorang pergi ke (perkampungan) Baqi’ dan ia melaksanakan aktivitasnya (di sana), kemudian ia berwudlu lalu mendatangi jamaah salat dan Rasulullah Saw. (yang menjadi imam) masih berada pada rakaat pertama karena saking panjangnya apa yang beliau baca”. [HR. Muslim]

Perbedaan kedua adalah Rasulullah saw tidak pernah membaca surat secara sepotong-sepotong. Dalam keterangan hadis-hadis ditemukan bahwa Rasulullah saw selalu membaca ayat secara sempurna, baik diselesaikan dalam satu rakaat, ataupun dibagi ke dalam dua rakaat. Dalam salat Maghrib misalnya, beliau membaca surat al-A’raf dalam dua rakaat, atau ath-Thur dan al-Mursalat atau membaca al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) [Ibnu al-Qayyim, Zadul Ma’ad, vol. I, hal. 205, Sayyid Sabiq, vol. I, hal. 183].

Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut bukanlah suatu kewajiban yang juga harus dilakukan oleh umatnya. Dalam kaedah ushul fikih disebutkan:

مُجَرَّدُ الْفِعْلِ لَا يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ

Artinya: “Perbuatan Nabi semata (yang tidak diiringi oleh indikasi lain) tidak menunjukkan kewajiban.”

Yang diperintahkan dan menjadi kewajiban hanyalah membaca suratnya saja, bukan panjangnya bacaan atau kesesuaian dengan contoh dari Nabi saw. Dalam al-Quran disebutkan:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ [المزمّل، 73: 20]

Artinya: “…karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an.” [QS. al-Muzzammil (73): 20]

Namun, bagi para imam yang ingin menegakkan sunnah Rasulullah saw serta dengan mempertimbangkan kenyamanan jamaah dengan bacaan panjang, maka tentu mengikuti sunnah Rasulullah saw adalah lebih utama. Berkenaan dengan membaca ayat tidak berdasarkan urutan dalam rakaat pertama dan rakaat kedua, kami berpandangan hal tersebut tidaklah dilarang, karena tidak ada nash yang secara tegas melarangnya. Namun kami berpandangan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mafdhul-tidak utama (kebalikan dari afdhal) karena tidak sesuai dengan sunah Nabi saw. Dengan demikian kami berpandangan sebaiknya tidak dilakukan.

Wallahu A’lam

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 18 Tahun 2010

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement