Oleh Prof Drs Sa’ad Abdul Wahid
Tujuan diturunkannya syari’ah samawiyah adalah untuk membangun manusia seutuhnya, baik akidah, ibadah maupun muamalahnya. Akidah merupakan keyakinan yang tidak pernah mengalami perubahan. Ketauhidan terhadap Allah SwT, baik Uluhiyah maupun Rububiyah sejak Rasul yang pertama hingga terakhir tetap terus diajarkan. Demikian pula keimanan terhadap Hari Akhir, Malaikat, al-Kitab dan para Nabi. Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan:
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (Al-Anbiya’ [21]: 25).
Dalam surat Al-Ikhlas Allah berfirman:
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada anak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. (Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Adapun mengenai ibadat dan muamalat, mengikuti asas-asas yang bersifat umum, yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan pemeliharaan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang diikat dengan ikatan tolong menolong dan persaudaraan.
Hanya saja keadaan dan adat kebiasaan setiap umat berbeda dengan umat lainnya, dan kadang-kadang suatu peraturan cocok dengan suatu kaum, tetapi tidak cocok dengan kaum lainnya, dan kadang-kadang cocok dengan suatu waktu, tetapi tidak cocok dengan waktu berikutnya. Tidak diragukan lagi bahwa Allah SwT sebagai Pencipta syari’ah samawiyah itu berhak mewajibkan mengerjakan sesuatu dan berhak pula membatalkannya, sebab tujuan penciptaan syari’ah samawiyah adalah sebagai rahmat dan kemaslahatan bagi seluruh umat.
Untuk itulah Allah menurunkan Al-Qur’an tidak secara sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit, sesuai dengan peristiwa yang terjadi pada waktu itu, dan sesuai dengan kebutuhannya, sehingga sy.ari’at yang diciptakan Allah itu benar-benar dapat diterapkan dengan baik dan teratur, sesuai dengan tujuannya.
Maka di antara ayat-ayat Al-Qur’an ada yang diturunkan lebih awal dan ada pula yang diturunkan lebih akhir, ada yang dinamakan Makkiyyah dan ada pula yang dinamakan Madaniyyah. Untuk mempermudah mengetahui mana ayat yang nasikh atau ayat yang mansukh, maka kita harus mengetahui mana ayat Makkiyyah dan mana ayat Madaniyyah, sehingga kita dapat dengan mudah mengetahui ayat yang lebih awal diturunkan dan ayat yang lebih akhir diturunkan.
Kata “naskh” adalah benruk masdar, berasal dari kata “nasakha-yansakhu”, yang berarti: membatalkan atau menghapus, sedang kata “nasikh”, adalah bentuk isim fa’il (yang menunjuk kepada arti pelaku); maka kata “nasikh” berarti “yang menghapus”. Adapun kata “mansukh”, adalah bentuk isim maf’ul (yang menunjuk kepada arti penderita), maka kata “mansukh” berarti “yang dihapus”.
Dalam Al-Qur’an, kata tersebut ditemukan pada empat tempat, dalam arti yang berbeda:
“Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan, kemudian Allah menguatkan ayat-ayat-Nya.” (Al-Hajj [22]: 52).
Pada ayat lainnya Allah berfirman:
“Ayat mana saja yang Kami hapuskan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya” . (Al-Baqarah [2]: 106).
Kadang-kadang berarti menukil atau mencatat, seperti disebutkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”. (Al-Jasiyah [45]: 29).
Pada ayat lainnya Allah berfirman:
“Dan dalam catatannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al-A’raf [7]: 154). Demikianlah pengertian naskh menurut bahasa.
Menurut istilah syariyyah, para ulama berbeda pendapat, tetapi esensinya sama. Pengertian yang diberikan oleh Manna’ al-Qattan, menurut penulis, lebih sederhana dan mudah dipahami, yatu:
“Penghapusan hukum syar’iy dengan khitab (pernyataan) syar’iy”. (Manna’ al-Qattan, 1971: 196).
Para ulama membagi an-naskh menjadi empat macam, yaitu:
Jumhur ulama (sebagian besar ulama) berpendapat boleh, dan telah terjadi. Seperti nikah mut’ah, yaitu nikah yang hanya berlaku dalam waktu tertentu, misalnya untuk waktu empat puluh hari, dan sesudah habis waktu yang telah ditentukan itu, maka putuslah pernikahan tersebut. (as-San’aniy, 1960, Subul as-Salam, 111: 126).
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan, tetapi kemudian dilarang, sebagaimana diungkapkan dalam suatu Hadits:
“Dari Iyas bin Salamah, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah saw memberikan keringatan pada tahun Autas (‘am al-fath) dalam nikah mut’ah selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, Kitab an-Nikah, No. 18/1405).
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:
1) Imam asy-Syafi’i berpendapat, bahwa as-Sunnah hanya dapat dihapus dengan as-Sunnah, tidak dapat dihapus dengan al-Kitab, dia menegaskan dalam ar-Risalah sebagai berikut:
“Demikianlah sunnah Rasulullah saw, tidak dapat dihapus kecuali dengan sunnah itu sendiri”. (al-Khudariy, 1933: 324). 2) Jumhur ulama berpendapat bahwa as-Sunnah dapat dihapus dengan al-Kitab (Al-Qur’an) dengan alasan; Al-Qur’an adalah qat’iy, sedang As-Sunnah adalah zanniy, dan telah terjadi, misalnya, tentang qiblat shalat, sebelumnya, qiblat salat adalah Bait al-Maqdis yang ditetapkan dengan as-Sunnah, kemudian ketetapan ini dihapus oleh Al-Qur’an, dengan firman Allah SwT:
“Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah al-Masjid al-Haram.”
Para ulama telah sepakat bahwa naskh al-Kitab bi al-Kitab (penghapusan al-Kitab dengan al-Kitab) adalah boleh dan telah terjadi, yaitu penghapusan kitab yang terdahulu dengan kitab yang datang kemudian, seperti: penghapusan at-Taurah dengan kitab al-Injil. penghapusan al-Injil dengan Al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui, bahwa syari’ah samawiyyah selalu berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Maka syari’ah yang telah ditetapkan pada masa Nabi Adam, sebagiannya telah diubah oleh Kitab at-Taurah; misalnya, perkawinan antara saudara kandung yang pada masa Nabi Adam diperbolehkan, kemudian diharamkan oleh Kitab at-Taurah.
Demikian pula apa yang diperbolehkan dalam Kitab al-Injil, kemudian diharamkan dalam kitab Al-Qur’an. Sebab syari’ah samawiyyah bukanlah peraturan yang bertujuan untuk memberatkan umat, melainkan sebagai rahmat, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat. Dalam hal ini tiada seorang pun di antara para ulama yang mengingkarinya. (al-Khudariy Bek, 1352 H.: 312).
Dimaksudkan dengan an-naskh fi Al-Qur’an, ialah penghapusan Al-Qur’an oleh Al-Qur’an. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Pertama, berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an telah mansukh (dihapus), baik hukumnya saja, maupun hukum dan lafalnya, sehingga tidak dapat lagi diamalkan. Bahkan mereka telah menetapkan jumlah ayat-ayat yang telah mansukh.
Pendapat inilah yang oleh al-Imam asy-Syafi’iy dan sebagian mufassir dijadikan sebagai pegangan dalam pengambilan keputusan. Pendapat tersebut berkembang di kalangan para ulama dengan sangat cepat dan tidak terkontrol, sehingga sebagian ulama melampaui batas dalam menetapkan ayat-ayat yang telah mansukh (dihapus).
Sebagian ulama memotong-motong ayat menjadi dua bagian, bagian permulaan ditetapkan sebagai ayat yang mansukh, dan bagian akhir ditetapkan sebagai ayat nasikh (yang menghapus), seperti firman
Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat (kerugian) kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”. (Al-Maidah [5]: 105).
Bagian akhir dari ayat tersebut, ditetapkan sebagai nasikh (yang menghapuskan) bagian permulaan ayat, yaitu (jagalah dirimu sendiri).
Bahkan lebih keterlaluan lagi, mereka berpendapat bahwa ayat yang telah menghapuskan (nasikh) itu dapat dihapuskan lagi sehingga ayat nasikh dapat menjadi mansukh, misalnya:
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. (Al-Kafirun [109]: 6). Mereka berpendapat bahwa ayat tersebut telah dihapus oleh ayat:
“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka.” (At-Taubah [9]: 5).
Kemudian ayat itupun dihapus lagi oleh ayat:
“Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk”. (At-Taubah [9]: 29).
Kemudian mereka membagi naskh dalam Al-Qur’an menjadi beberapa macam:
1) Nask (penghapusan) bacaan dan hukumnya, seperti apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah:
“Semula diturunkan bahwa sepuluh kali susuan yang jelas, dapat menyebabkan haram (untuk dikawini), kemdian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas”. Tilawah (bacaan) ayat tersebut sudah tidak ada dalam Mushaf ‘Usman, demikian pula hukum yang terkandung di dalamnya.
2) Naskh (penghapusan) hukumnya saja, sedang tilawah (bacaan)nya tetap, seperti penghapusan hukum yang terkandung dalam ayat ‘iddah, diganti dengan al-haul (satu tahun).
3) Naskh (penghapusan) bacaannya saja, sedang hukumnya tetap, seperti ayat ar-rajm:
“Laki-laki dan” perempuan yang sudah tua apabila berzina, maka
rajamlah (lemparilah dengan batu) hingga mati, sebagai balasan dari
Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Manna’ al-Qattan, 1971: 203).
Bacaan ayat tersebut sudah dihapus, tetapi hukumnya yaitu rajm tetap berjalan.
Naskh (penghapusan) itu kadang-kadang ada penggantinya, kadang-kadang tidak ada penggantinya. Jika ada penggantinya, kadang-kadang penggantinya lebih ringan, kadang-kadang sebanding dan kadang-kadang lebih berat.
Naskh tanpa pengganti, misalnya; sadaqah sebelum berdialog
dengan Rasul, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu”. (Al-Mujadilah [58]: 12).
Ayat tersebut telah dihapus dengan firman-Nya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada mengerjakannya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah [58]: 13).
Naskh dengan pengganti yang lebih ringan, misalnya: Firman Allah SwT:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu.” (Al-Baqarah [2]: 187).
Ayat tersebut menaskh (menghapuskan) firman Allah:
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (Al-Baqarah [2]: 183).
Dimaksudkan dengan: “Kama kutiba ‘ala allazina min qablikum” ialah: apabila mereka shalat paada waktu ‘atamah, yaitu waktu ‘isya’, atau tidur pada waktu sesudah ‘isya’, diharamkan bagi mereka makan, minum dan menggauli isteri. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu ‘Umar, ia menjelaskan bahwa setelah diturunkan ayat 183, Al-Baqarah:
Maka diturunkanlah ayat 187, Al-Baqarah:
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim dan lainnya.
Naskh dengan pengganti yang sebanding, seperti menghadap ke Bait al-Maqdis (dalam salat) dihapus dengan menghadap ke Ka’bah, dengan turunnya ayat:
“Maka palingkanlah mukamu ke arah al-Masjid al-Haram”. (Al-Baqarah [2]: 144).
Naskh dengan pengganti yang lebih berat, seperti hukuman penjara di rumah bagi orang yang berzina, diganti dengan jilid, yaitu ayat:
“Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji. hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu. Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka dalam rumah.” (An-Nisa’ [4]: 15).
Ayat tersebut dinasakh dan diganti dengan ayat:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (An-Nur [24]: 2).
Demikianlah pendapat sebagian ulama mengenai naskh dalam Al-Qur’an, mereka menyatakan bahwa naskh (penghapusan) sebagian ayat Al-Qur’an adalah boleh dan telah terjadi.
Adapun alasan-alasan yang ditampilkan untuk memperkuat pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1) Firman Allah:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”. (Al-Baqarah [2]: 106).
2) Firman Allah:
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya”. (An-Nahl [16]: 101).
3) Karena adanya kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya, jika dilihat dari segi makna yang tersurat, seperti ayat tentang wasiyyat dengan ayat tentang mawaris.
Kedua, bependapat bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada naskh (penghapusan) ayat dengan ayat lainnya. Pendapat ini dilontarkan oleh Abu Muslim al-Asfashaniy (322 H).
Pendapat tersebut mendapat perhatian yang sangat besar dari para ulama mutakhir, antara lain ialah: al-Ustaz asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh (1325 H.), as-Sayyid Rasyid Rida (1354 H.), al-Khudariy Bik dan Dr. Tauflq Sidqiy.
Abu Muslim al-Asfahaniy menyatakan, jika dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang* telah mansukh (dihapus), maka sebagian ayat Al-Qur’an ada yang dibatalkan. Dengan demikian, maka sebagian isi Al-Qur’an ada yang batil, padahal Allah telah menegaskan dalam firman-Nya:
“Tidaklah datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakang”. (Fussilat [41]: 42).
Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an merupakan syari’ah yang bersifat abadi, yang berlaku hingga akhir zaman dan merupakan hujjah sepanjang masa. Maka tidaklah pantas, jika didalamnya terdapat ayat yang batil. Selanjutnya Abu Muslim memperkuat alasannya sebagai berikut:
1) Firman Allah: “Ma nansakh min ayatin au nunsiha”, tidaklah menunjukkan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab lafal “ayah” yang terdapat pada firman Allah tersebut, dapat diartikan “mu’jizat”, dan dapat juga diartikan kitab-kitab yang telah lalu yang sudah dihapus oleh Al-Qur’an. Lafal “naskh” pada ayat tersebut bukanlah berarti “menghapuskan”, melainkan berarti “memindahkan” ayat dari lauh mahfuz kepada kitab lainnya.
Ayat tersebut di atas (Al-Baqarah: 106) sebenarnya tidak menunjukkan bahwa naskh telah terjadi dalam Al-Qur’an melainkan hanya memberikan penjelasan bahwa apabila terjadi naskh, maka akan diganti dengan yang lebih baik. (as-Sabuniy, 1972, Rawai’ al-Bayan, I: 101).
2) Ayat-ayat yang pada lahirnya kelihatan kontradiksi, tidaklah menunjukkan adanya naskh, sebab ayat-ayat tersebut dapat dikompromikan.
3) Mengenai ayat yang dimaksudkan dengan kata “ayah” pada firman Allah tersebut, adalah mu’jizat. Arti itulah yang tepat dan sesuai dengan susunan kalimatnya. Jika diperhatikan akhir ayat itu:
“Mereka (orang-orang musyrikin) berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja, bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (An-Nahl [16]: 101).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa yang dikehendaki kaum musyrikin dengan perkataan “ayah” adalah mu’jizat, seperti mu’jizat Nabi Lut, Ibrahim dan Nabi Musa.
Sumber: Majalah SM No 22-23 Tahun 2010