Ahad 04 Sep 2022 11:42 WIB

Doa Iftitah dan Al-Fatihah Ketika Menjadi Makmum

Bagaimana Doa Iftitah dan Al-Fatihah ketika Menjadi Makmum?

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Doa Iftitah dan Al-Fatihah ketika Menjadi Makmum - Suara Muhammadiyah
Doa Iftitah dan Al-Fatihah ketika Menjadi Makmum - Suara Muhammadiyah

Bagaimana Doa Iftitah dan Al-Fatihah ketika Menjadi Makmum?

Pertanyaan:

Assalamu alaikum,

Yth Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, saya ada pertanyaan seputar salat, adapun pertanyaannya adalah sebagai berikut:

Apakah kita harus membaca doa iftitah dan al-Fatihah jika kita menjadi makmum?

Sofik Handoyo (disidangkan pada hari Jum’at, 29 Syawal 1431 H / 8 Oktober 2010)

Jawaban:

Terlebih dahulu kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertanyaan yang saudara ajukan tentang Doa Iftitah dan Al-Fatihah ketika Menjadi Makmum. Semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya kepada kita agar kita senantiasa konsisten dalam mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunah Nabi saw. Adapun jawaban kami adalah sebagai berikut:

Jawaban untuk pertanyaan tentang doa iftitah ini bisa saudara rujuk pada Buku Tanya Jawab Agama Jilid 3 dan Jilid 5 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Berikut ini merupakan jawaban ulang tentang doa iftitah dari kami. Bacaan mushalli (orang yang salat) ketika menjadi makmum dibedakan menjadi dua. Pertama, ketika imam membaca dengan tanpa suara (sirr) dan kedua ketika imam membaca dengan keras (jahr).

Ketika ia menjadi makmum dalam salat sirr, ia disunahkan membaca doa iftitah dan diwajibkan membaca al-Fatihah. Hal itu didasarkan kepada hadis Rasulullah saw.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْهَةً فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله: بِأَبِي وَ أُمِّي مَا تَقُوْلُ فِي سُكُوْتِكَ بَيْنَ التَكْبِيْرِ وَ الْقِرَاءَةِ ؟ قَالَ: أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ. [رواه النسائى و ابن حبان و ابن خزيمة واللفظ له(

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila (setelah) bertakbir saat salat, ia diam sejenak. Aku kemudian bertanya: Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang engkau lafalkan ketika engkau diam antara takbir dan memulai bacaan (al-Fatihah)? Rasululllah menjawab: Aku mengatakan: Allahuma ba’id baini wa baina khatayaya kama ba’adta bainal-masyriqi wal-maghrib, Allahuma naqqini min khatayaya kama yunaqqats-tsaubul-abyadhu minad-danas, Allahummaghsilni min khatayaya bil-ma’i wats-tsalji wal-barad.” [HR an-Nasai, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan lafal hadis dari Ibnu Khuzaimah]   

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. [متفق عليه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca induk al-Quran (al-Fatihah).” [HR. Muttafaq ‘Alaihi]

Ketika ia menjadi makmum dalam salat jahr, yang ia lakukan sebelum imam mulai membaca al-Fatihah adalah membaca doa iftitah (sebagaimana tercantum dalam hadis di atas) dan saat imam sedang membaca bacaan ia diam dan mendengarkan bacaan imam. Diamnya makmum untuk mendengarkan dan menyimak bacaan imam merupakan bagian dari kesempurnaan bermakmum. Hal itu didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” [QS. al-A’raf (7): 204]

Sabda Nabi saw:

إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا. [رواه مسلم وأبو داود وابن

أبي شيبة]

Artinya: “Hanyasanya imam itu dijadikan panutan makmum. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, jika ia membaca, diamlah kalian.” [HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah]

Dalam hadis lain juga terdapat keterangan yang melarang makmum membaca saat imam sedang membaca dengan suara keras (jahr).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ صَلاَةٍ جَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ هَلْ قَرَأَ مَعِي مِنْكُمْ أَحَدٌ آنِفًا فَقَالَ رَجُلٌ نَعَمْ أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي أَقُولُ مَا لِي أُنَازَعُ الْقُرْآنَ فَانْتَهَى النَّاسُ عَنْ الْقِرَاءَةِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا جَهَرَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِرَاءَةِ حِينَ سَمِعُوا ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. [رواه مالك في الموطأ(

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw ketika selesai dari suatu salat yang bacaannya jahr, ia bertanya (kepada jamaahnya): Adakah seseorang di antara kalian tadi membaca al-Qur’an? Seseorang menjawab: Ya, saya, wahai Rasulullah. Sabda beliau: Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)? Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Qur’an bersama Rasulullah saw bila beliau membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar. [HR Malik dalam kitab al-Muwatha]

 

Ada pula beberapa ulama yang mengambil jalan tengah, dengan mengkompromikan keharusan membaca surat al-Fatihah dalam hadis “la salata li man lam yaqra’ bi ummil kitab” dan keharusan diam serta mengikuti bacaan dalam hadis “wa idza qaraa fa anshitu” dengan menganjurkan imam untuk berdiam sebentar (saktah)  sebelum membaca surat, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi makmum membaca al-Fatihah (Ibnul-Qayyim dalam Zadul-Ma’ad, hal. 207). Pendapat ini juga boleh pula untuk dipakai.

Pendapat para ulama memang beragam dalam permasalahan doa iftitah dan membaca surat Al-Fatihah ini, karena ada perbedaan di antara mereka dalam mengkompromikan masing-masing nash. Oleh karena keberagaman itu, hendaknya warga Muhammadiyah membuka ruang toleransi setinggi-tingginya untuk pengamalan yang berbeda dengan fatwa Majelis Tarjih, dan dalam hal ini kita bisa menerapkan prinsip at-tanawwu’ (keragaman).

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 24 Tahun 2010 tentang Doa Iftitah dan Al-Fatihah ketika Menjadi Makmum

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement