Ahad 18 Dec 2022 18:53 WIB

Kaget PHK Gila-gilaan di Startup? Ini 3 Alasan Utama Sebenarnya

Gelombang pemutusan hubungan kerja menyerang perusahaan rintisan dan digital

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Startup (Unsplash/Ofspace Digital Agency)
Startup (Unsplash/Ofspace Digital Agency)

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menyerang perusahaan rintisan (startup) dan juga perusahaan teknologi digital baik di Indonesia maupun secara global.

Alasan di balik efisiensi ini bagi perusahaan seringkali diungkapkan di balik alasan kondisi ekonomi makro dan geopolitik. Namun terlepas dari ini, ada pandangan pula bahwa efisiensi dengan melakukan PHK ini merupakan salah satu cara alternatif atau solusi yang realistis bagi perusahaan untuk mempertahankan model bisnisnya yang sudah tidak menguntungkan lagi.

"Jika dicermati ada tiga hal yang jelas-jelas memicu efisiensi karyawan. Ketiga [alasan] ini menunut perusahaan rintisan dan teknologi digital untuk memikirkan ulang model bisnisnya. Pertama adalah agresivitas mereka ketika merekrut karyawan di masa pandemi," tutur Indrawan Nugroho selaku CEO dan Co-Founder CIAS dalam sebuah video berjudul Akhir dari Unicorns. Awal dari Dragons. Belajar dari GoTo yang diunggah di akun YouTube-nya pada 15 Desember 2022 seperti dikutip pada Minggu (18/12/2022).

Baca Juga: Kementerian ESDM: Program REBED Bisa Jadi Kesempatan untuk Startup Berkarya

Indrawan menjelaskan bahwa saat pandemi, permintaan akan layanan digital memang sedang meningkat, investor juga sedang royal-royalnya menyuntikkan dana. Yang pada akhirnya membuat perusahaan berani untuk merekrut karyawan dalam jumlah yang masif, ratusan hingga ribuan karyawan direkrut dalam hitungan bulan saja. Sayangnya pasukan talenta digital terbatas sementara permintaannya sangat tinggi sehingga terjadilah talent war.

Akibatnya nilai gaji yang ditawarkan pun meroket, di mana perusahaan jadi harus saling berani merogoh kocek semakin dalam.  Rekrutmen besar-besaran yang dipicu kondisi market yang mem-bullish dan pendanaan yang mudah dan murah pada saat itu bukan berarti tanpa risiko ya bagi perusahaan rintisan dan teknologi digital. Selain biaya marketing, biaya SDM juga menjadi pos pengeluaran yang sangat besar sehingga biaya operasional perusahaan otomatis membengkak secara drastis.

"Saat ini Indonesia memiliki 2.346 usaha rintisan, sebagian besar usaha rintisan itu masih jauh dari untung. Mereka belum merdeka secara finansial. Jadi untuk membiaya rekrutmen karyawan besar-besaran itu mereka sangat bergantung pada dana investor," terang Indrawan.

Hal ini pun berlanjut dan membawa pada alasan kedua di balik PHK. Di mana kemudian aliran dana investor global tiba-tiba mulai melambat. Tren penurunan pendanaan ventura mulai terjadi akibat dari kondisi ekonomi yang tidak pasti, inflasi yang tinggi, dan adanya ancaman resesi. Sehingga investor global mulai mengalihkan investasi ke sektor lain yang tidak terlalu beresiko.

Peringatan kepada perusahaan rintisan dan teknologi global pun mulai muncul, di mana bagi mereka yang masih membakar uang maka akan sulit bertahan di tengah kondisi ekonomi sekarang.

Apalagi jika perencanaan keuangan mereka tidak baik, terutama perusahaan rintisan yang tetap bakar uang banyak dan baru sadar kehabisan modal ketika berusaha untuk naik kelas ke putaran dana selanjutnya. Jika mereka ingin masuk ke seri A tapi belum meraih product-market fit jangan berharap mereka bisa masuk putaran pendanaan lain.

"Pemicu yang ketiga yang memperburuk situasi adalah melesetnya proyeksi permintaan pasar. Mark Zuckerberg mangakui hal itu [bahwa] langkahnya salah dalam memproyeksikan permintaan. Di awal pandemi semua aktivitas beralih ke sarana online, mereka kira kondisi seperti itu akan tetap bertahan. Itu sebabnya Meta pun menggelontorkan dana hingga ratusan triliun rupiah. Mereka menduga aktivitas online yang terbentuk selama pandemi akan menjadi kebiasaan baru. Perkiraan mereka salah," kata Indrawan.

Investasi yang sudah terlanjur dilakukan secara signifikan ternyata tidak selaras dengan perkiraan pada pandangan bahwa sarana online akan menjadi akselerasi permanen yang akan terus berlanjut bahkan setelah pandemi berakhir. Rupanya yang terjadi justru sebaliknya.

Indrawan menegaskan ulang bahwa tiga alasan ini adalah tiga pukulan telak bagi perusahaan rintisan dan teknologi digital. Ujarnya, "sudah kadung jor-joran merekrut karyawan dengan gaji tinggi, lalu uang investor berhenti mengalir, di saat yang sama permintaan atas produk dan layanannya juga berkurang".

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement