Senin 01 Aug 2022 22:52 WIB

Raksasa Bank Digital dari Negeri Samba

Dalam waktu singkat, ia tumbuh menjadi raksasa perbankan yang mengagumkan.

Rep: Teguh Sri Pambudi (swa.co.id)/ Red: Teguh Sri Pambudi (swa.co.id)
David Vélez, pendiri dan CEO Nubank.
David Vélez, pendiri dan CEO Nubank.

Dalam waktu singkat, ia tumbuh menjadi raksasa perbankan yang mengagumkan. Selain “Tali Beludru”, apa strategi lain yang dikembangkannya?

Pertengahan 2012. Seorang Kolombia, David Vélez, pindah ke São Paulo, Brasil, setelah menyelesaikan MBA di Stanford Graduate School dan bekerja di Morgan Stanley. Dia direkrut menjadi partner di Sequoia Capital.

Vélez kelahiran Medellin, Kolombia, tahun 1982. Keluarganya mengungsi ke Kosta Rika saat usianya menginjak sembilan tahun (1991) untuk menghindari situasi kekerasan yang ditimbulkan perang kartel narkoba, yang salah satunya dipicu ulah Pablo Escobar, yang kemudian ditembak mati tahun 1993.

Kendati masa kecilnya dikelilingi kerusuhan dan darah yang berceceran di seantero Medellin, hal itu tidak menghalangi Vélez untuk tumbuh menjadi seorang pembelajar yang pintar. Dia berhasil meraih MBA di Stanford dan bekerja di Morgan Stanley sebelum mendarat di Sequoia. Douglas Leone, Managing Partner Sequoia Capital, merekrutnya untuk urusan scouting perusahaan-perusahaan rintisan di Brasil dan negara-negara Amerika Selatan.

Berbulan-bulan berlalu, satu hari Leone memanggil Vélez dan menyatakan bahwa proyek yang mereka kerjakan dihentikan. Alasannya, kandidat yang datang, juga lulusan ilmu komputer di Brasil, terbilang minim dan tidak menjanjikan.

Keputusan itu mengejutkan Vélez. Namun, ini kelak menjadi titik balik dalam hidupnya. Pernyataan Leone membakar motivasinya. Dia pun memilih keluar dari Sequoia untuk mengambil posisi sebagai founder dan CEO startup yang akan didirikannya.

        Sewaktu masih di Sequoia, sejatinya Vélez mencium ada sesuatu yang bisa diberi solusi sekaligus menjadi peluang bisnis. Namun, apa yang disaksikan dan diendusnya rupanya belum, atau tidak, ditangkap Leone berikut orang-orang di sekitarnya. Ketimbang melihat sedikitnya inovator Brasil sebagai sesuatu yang negatif, dia melihatnya sebagai peluang. Setidaknya, buat dirinya sendiri.

“Di Amerika Serikat, ada kelebihan pasokan entrepreneur. Seseorang dengan pengalaman dan latar belakang seperti saya merupakan sebuah komoditas. Di Amerika Latin, yang seperti ini justru sangat minim,” katanya mengenang situasi yang dihadapinya (Forbes, 7 April 2021). Jadi, apa yang diendusnya itu?

Hanya dalam beberapa bulan tinggal di São Paulo, kota berpopulasi 11 juta jiwa, Vélez mengidentifikasi ada peluang di sektor perbankan Brasil. Dia melihat setengah populasi Negeri Samba tidak tersentuh perbankan sekalipun menjadi kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia.

Saat itu industri perbankan Brasil sangat oligopolis: lima bank besar mengontrol 80% pangsa pasar. Seluruh bank tersebut mematok fee yang besar dengan suku bunga tinggi untuk kartu kredit. Repotnya, layanannya sering bermasalah.

Vélez merasakan sendiri problem tersebut. Saat membuka akun di sebuah bank, dia harus menunggu selama sejam untuk memulai proses. Dia tahu problem ini dialami banyak masyarakat di seantero Amerika Latin.

Rasa frustrasi yang dialaminya itu memang menjengkelkan. Namun, dia mencium peluang menyelesaikan persoalan ini dengan teknologi. Dia ingin mendisrupsi industri ini.

Tahun 2013 berdirilah Nubank. Misi Vélez saat itu adalah membuat bank digital yang bisa membantu inklusi keuangan, tanpa kutipan fee dan memberikan aneka fitur yang mudah diakses masyarakat.

Sadar tak bisa mewujudkan visinya sendirian, Vélez merekrut Cristina Junqueira, yang berpengalaman di industri perbankan, dan Adam Edward Wible, yang telah lima tahun berpengalaman di dunia private equity. Bertiga mereka mencoba mewujudkan sebuah bank digital independen untuk menolong masyarakat Brasil menjadi lebih memiliki akses ke perbankan dan cerdas secara finansial.

Gagasan mereka langsung disambut investor. Mereka mendapat US$ 2 juta, yang salah satunya datang dari Kaszek, venture capital di Amerika Latin, yang memberikan US$ 1 juta.

Bermodalkan suntikan dana tersebut, mereka pun berjalan. Langkah pertama yang diayun adalah menggandeng Mastercard yang memberikan dukungan untuk layanan kartu kredit. Mengapa kartu kredit?

Regulasi di Brasil mengharuskan neobank (bank digital yang berangkat dari sepenuhnya digital, bukan bank konvensional yang mendirikan layanan bank digital) untuk melayani kartu kredit sebelum mengantongi lisensi beroperasi sebagai bank (mengeluarkan produk tabungan, dsb). Menyiasati inilah, Vélez dkk. menggandeng Mastercard.

Tahun 2014, Nubank akhirnya memasuki gelanggang perbankan Brasil, didukung kartu kredit Mastercard yang terhubung dengan ponsel nasabah. Menyiasati keterbatasan sistem sebagai perusahaan baru, pemain anyar ini mengembangkan strategi yang disebut “Tali Beludru”, yaitu nasabah hanya dapat apply untuk kartu kredit jika seorang kawan mengundangnya.

Jadi, tak semua orang mendapat tawaran kartu kredit. Di samping eksklusivitas tersebut, bank digital ini juga tidak mematok annual fee untuk pemegang kartu kredit. Gratis!

Langkah ini segera memancing perhatian publik. Sekitar 200 ribu orang segera masuk daftar tunggu menjadi nasabah, tapi hanya 100 ribu yang disetujui menjadi nasabah Nubank di tahun pertama.

Nubank memang sangat berhati-hati dengan jumlah nasabah di tahun pertama. Vélez dan founder lain tak mau membebani sistem yang ujungnya malah menimbulkan pengalaman yang buruk (bad user experience) sehingga memukul balik upaya membangun citra yang baik.

Strategi Tali Beludru ternyata membantu membangun user base secara instan. Nasabah yang memenuhi syarat mendapat kartu, akan dikirimi notifikasi lewat app di ponselnya. Dua hari kemudian, kartu kredit bisa digunakan untuk melakukan aktivitas kredit melalui ponsel.

Pada 2016, atau dua tahun selepas meluncur ke pasar, Nubank sudah mendapat 1 juta nasabah kartu kredit. Hampir semuanya datang melalui model getok tular dan referensi. Dengan kesuksesan sebagai neobank, tahun 2017, Nubank akhirnya mendapat lisensi untuk beroperasi sebagai bank. Lisensi ini memungkinkan mereka menawarkan akun tabungan, yang otomatis meningkatkan jumlah nasabahnya.

Dalam waktu lima bulan setelah mendapat lisensi, sekitar 1,5 juta pemegang kartu kredit telah memiliki akun tabungan Nubank beserta layanan keuangan tradisional. Berikutnya, orang-orang pun menyusul menjadi nasabah bank digital ini.

Awal 2022, jumlah nasabahnya telah mendekati 50 juta, membuatnya menjadi bank digital terbesar di dunia ditinjau dari jumlah nasabah. Bank digital ini memasuki tahun-tahun pertumbuhan yang eksplosif.

Apa yang membuat Nubank istimewa sehingga nasabah mendatanginya?

Pertama, lewat Nubank, Vélez membuat urusan perbankan menjadi mudah. Setiap nasabah dapat membuka akun sekaligus memulai aktivitas perbankan tanpa perlu mengunjungi kantor cabang fisik. Prosesnya pun terbilang cepat. Cukup klik di ponsel masing-masing.

 Yang kedua, dibandingkan perbankan tradisional yang mengambil iuran tahunan, layanan kartu kredit Nubank via ponsel dan bebas biaya tahunan. Tak mengherankan, nasabah pun terus berdatangan.

Lalu, bagaimana mereka mencetak uang? Bagaimana meraup cuan kendati tak mengutip fee untuk kartu kreditnya?

Nubank mengambil selisih bunga, juga fee dari penarikan ATM dan referral fee. Belakangan, bank digital ini juga meluncurkan kartu kredit premium, Ultravioleta, yang menjanjikan nasabah beragam benefit dengan biaya langganan US$ 49 per bulan. Dengan kata lain, mereka punya beragam arus pemasukan, sekalipun kartu kreditnya (yang menjadi produk awal) tetap bebas iuran tahunan.

Kini, setelah delapan tahun meluncur, Nubank telah menjadi pemain industri perbankan yang disegani, tidak hanya di Brasil, tapi juga Amerika Latin. Mereka berkembang secara anorganik. Untuk memperkuat diri, sederet akuisisi dilakukan.

Januari 2020, akuisisi pertama dilakukan saat mencaplok Plataformatec, perusahaan yang fokus pada software engineering and agile methodologies. Beberapa bulan berikutnya, mengambil Easyinvest, broker investasi. Lalu, mengakuisisi Juntos (platform percakapan), SpinPay (checkout solution provider), dan Olivia (personal finance management provider berbasis artificial intelligence).

Langkah-langkah akuisisi tersebut harus dilakukan Vélez agar Nubank bisa lincah merilis aneka produk. Setelah mendapat lisensi perbankan, sederet produk memang diluncurkan laiknya sebuah bank, di antaranya tabungan, kartu debit, investments loans mobile payments, dan asuransi jiwa.

Produk yang terakhir itu fenomenal: Nubank menjual 100 ribu polis asuransi yang laris manis. Di luar itu, selama tahun 2021, Nubank meluncurkan sejumlah produk dan fitur baru, menggandeng sejumlah mitra, antara lain Apple, Google, dan WhatsApp Pay.

Sejalan dengan pertumbuhan nasabahnya yang signifikan, kinerja Nubank pun akhirnya tumbuh menawan. Tahun 2019, sebelum pandemi datang, mereka telah meraup pendapatan sebesar US$ 523 juta, dan menelan kerugian US$ 78 juta.

Tahun 2020, bank digital ini memetik berkah dari pandemi: pendapatannya melonjak menjadi US$ 963 juta, dengan kerugian US$ 44 juta. Tahun berikutnya (2021), pendapatan mencapai US$ 1,7 miliar, dan hebatnya, laba pertama kalinya dicetak: US$ 6,6 juta.

Dari sederet langkah yang dilakukan, lompatan terbesar Nubank adalah pada 9 Desember 2021, ketika go public di bursa New York. Dengan harga US$ 9 per lembar saat IPO, mereka meraih US$ 2,6 miliar.

Sejak diluncurkan, Nubank memang telah menjadi primadona bagi investor. Mereka meraih pendanaan lebih dari US$ 2,3 miliar dari 12 putaran. Investor yang masuk antara lain Sequoia Capital, Morgan Stanley, General Atlantic, dan Berkshire Hathaway. Kini valuasi bank yang tak punya kantor cabang tradisional itu ditaksir mencapai US$ 50 miliar.

Melejitnya Nubank tak ayal membuat gerah pelaku perbankan konvensional, terutama lima bank raksasa di Brasil yang selama ini begitu nyamannya menikmati pasar, yakni Itaú Unibanco, Caixa, Banco do Brasil, Bradesco, dan Santander. Untuk merespons kesuksesan sang penantang yang menari-nari lincah, kalangan perbankan tradisional meluncurkan aplikasi digitalnya sendiri. Mereka mencoba masuk ke pasar teknologi finansial (fintech), mengadu peruntungan sebelum semuanya dikuasai Nubank.

Hantaman terhadap Nubank sangat bisa dipahami mengingat pemain belia ini dari “nol” tiba-tiba menjadi raksasa yang sangat mengganggu. Vélez sendiri, dihajar sedemikian rupa, terus menampilkan ketegarannya. Bahkan, setelah mendominasi pasar tekfin di Brasil, dia bersama rekannya, Junqueira dan Wible, membawa Nubank terbang lebih tinggi. Mereka berekspansi ke Argentina, Meksiko, dan tentu saja kota kelahiran Vélez: Kolombia.

Menariknya, Nubank yang telah memukau Brasil dan Amerika Latin tak ingin berhenti hanya di kontinen ini. Vélez menyatakan, dia berencana menginvasi dunia, menyebar ke negara-negara lain.

Rencana ini tentu saja menarik. Pasalnya, bukan hanya perbankan tradisional yang menjadi kompetitor. Sejumlah bank digital lain juga hadir di pelbagai belahan dunia, seperti Atom Bank, Monzo Bank, dan Monese di Inggris; WeBank (China), Kakao Bank (Korea Selatan), sementara di Indonesia juga muncul beberapa pemain seperti Bank Jago, Allo Bank, dan Aladin. Mereka tentu tak akan membiarkan pasarnya diambil pemain luar.

Terlepas dari rencana ambisiusnya, Nubank memang berkembang luar biasa. Dari segelintir karyawan, mereka kini berawak 3.700 orang. Mereka juga masuk peringkat 40 dalam daftar Disruptor 50 tahun 2021 yang dikeluarkan CNBC.

Merunut ke belakang, semua ini tak akan terjadi jika Vélez tak serius mengeksekusi keyakinannya bahwa peluang bisnis sangat terbuka di Brasil. Sesuatu yang diragukan Leone, atasannya. (*)

Teguh S. Pambudi

www.swa.co.id

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement