Kekuatan mata uang sebuah negara ditandai dengan nilai tukar terhadap mata uang asing. Biasanya, kita sering mendengar informasi tersebut dari media cetak maupun elektronik, atau pada pada papan pengumuman di money changer atau pun di bank-bank, tertera kurs IDR-USD, IDR-JPY, IDR-SGD, IDR-EURO, atau IDR-HKD, dan lainnya. Artinya, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain.
Akhir-akhir ini kurs rupiah mengalami pelemahan cukup signifikan terhadap dolar AS. Belakangan ini, Indonesia sedang diramaikan dengan angka kurs tengah Bank Indonesia (BI) hampir mencapai Rp16.000. Bahkan, diprediksikan kurs rupiah menembus angka Rp16.000-an per dolar AS.
Makin tinggi nilai tukar mata uang suatu negara identik dengan makin kuatnya ekonomi negara tersebut, dan sebaliknya. Kenapa mengacu pada USD? Sebab, perdagangan internasional banyak didominasi dengan transaksi menggunakan USD.
Lalu, apa saja dampaknya apabila nilai tukar rupiah ini terus mengalami pelemahan terhadap USD? Simak penjelasan berikut ini.
Untuk lebih mudah mehamami, berikut terdapat beberapa ilustrasi yang menggambarkan terjadinya inflasi.
Kalau sudah begitu, tidak mungkin produsen menjual barangnya sama seperti sebelumnya ketika rupiah tidak melemah. Artinya, produsen harus mejual produknya dengan harga yang lebih mahal. Sebab, ongkos produksinya meningkat. Kalau dia jual harga produknya tetap sama, kerugian pun terjadi.
Maka, jalan yang terbaik adalah dengan menaikkan harga jual produknya agar tetap untung dan menjaga pangsa pasarnya. Konsumen akan membeli produk-produk itu dengan harga yang lebih mahal dari biasanya. Dengan mahalnya barang-barang tersebut terutama untuk barang konsumsi, maka akan memicu inflasi tinggi.
Rupiah Indonesia
Dengan pelemahan rupiah, maka para eksportir yang sebelumnya kebanjiran order dari luar negeri, bisa-bisa menyusut. Tentu tidak semua eksportir, tapi khusus ekspotir yang produknya masih bergantung pada bahan baku impor.
Seperti ulasan sebelumnya, karena rupiah melemah, maka harga jual produk menjadi mahal, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga harga jual di luar negeri tak lagi kompetif.
Terdapat beberapa dampak yang dapat terjadi pada eksportir, jika rupiah terus melemah.
Harga minyak sawit mentah (CPO) Indonesia 1 barel misalnya US$50 atau Rp500.000 dengan kurs US$1 adalah Rp10.000. Nah, bila rupiah melemah ke Rp15.000 per USD saja, maka harga CPO Indonesia menjadi Rp750.000 per barel. Jika harga jual tersebut tetap sama –dan mestinya sama karena tak perlu bahan baku impor- maka 1 barel CPO di luar negeri sana menjadi hanya US$25 saja.
Ini akan menguntungkan importir di luar negeri sana karena mendapatkan barang yang sama dengan harga murah, sekaligus menguntungkan juga para eksportir Indonesia karena ada permintaan yang banyak atau volume ekspornya meningkat.
Namun, di sisi lain, juga bisa mengancam neraca perdagangan Indonesia karena seperti uraian di atas, bahwa pelemahan rupiah tidak menguntungkan bagi eksportir atau produsen yang mengandalkan bahan baku atau penolong dari impor. Sebab, biaya produksinya makin tinggi dan harga jual produknya mau tidak mau makin mahal.
Kalau sudah demikian, maka eksportir yang memproduksi barang-barang manufaktur berkebutuhan impor tinggi akan makin tidak kompetitif. Di sisi lain, mahalnya barang impor menyebabkan industri manufaktur akan makin sulit berkembang. Maka, ekspor manufaktur Indonesia bisa berpotensi mengalami kontraksi.
Padahal, ekspor manufaktur ini yang mampu menjaga surplus neraca perdagangan menjadi berkualitas. Sebab, bila mengandalkan surplus dari neraca nonmigas utamanya komoditas mentah hasil perkebunan, seperti batubara atau CPO, sewaktu-waktu bisa terpengaruh oleh harga komoditas internasional yang berfluktuatif.
Ketika harga komoditas global tinggi, bisa meraup untung, dan sebaliknya. Jika pelemahan nilai tukar rupiah juga terus berlanjut, potensi mengalami defisit akan lebih besar.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Satu hal yang merisaukan akibat turunnya nilai tukar rupiah adalah munculnya pemutusan hubungan kerja. Seperti ulasan di atas, pelemahan rupiah bisa menyebabkan produsen harus mengeluarkan biaya tinggi untuk produksinya dan berakibat pada naiknya harga jual produk sehingga inflasi meningkat dan daya beli masyarakat tergerus.
Bila daya beli masyarakat tergerus, mereka akan mengurangi konsumsinya, dan banyak barang yang tidak habis terjual. Jika produsen masih banyak stok, produksi berkurang atau bahan terhenti. Jika demikian, mau tidak mau industri akan mengurangi jumlah karyawannya.
Depresiasi rupiah berdampak pada ekspor dan impor sehingga harga barang-barang impor meningkat karena nilai mata uang kita dibanding Dolar AS dan berbagai mata uang asing lainnya melorot. Pengguna barang impor harus membayar uang lebih besar untuk barang yang dibelinya, sedangkan sebagian dari barang yang diimpor Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur.
Di sisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman dan upah karyawan. Satu-satunya yang bisa dipangkas adalah biaya tenaga kerja. Artinya, perusahaan bisa jadi akan berhenti menaikkan gaji atau mengurangi bonus, atau malah memecat karyawan jika beban biaya produksi dinilai sudah terlalu tinggi.
Dari sisi fiskal\, pemerintah akan menjaga harga-harga barang terutama kebutuhan bahan pokok atau pangan sebagai penyebab tingginya inflasi dengan membuat kebijakan-kebijakan yang bisa membuat harga-harga tersebut stabil.
Misal, daging sapi. Ini merupakan salah satu bahan pangan yang menyumbang inflasi besar karena masuk dalam keranjang bahan makanan bergejolak (volatile food). Ketika harga daging mahal, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor bila daging sapi di dalam negeri tidak mencukupi.
Sementara itu, peran BI. Sebagai pembuat kebijakan dari sisi moneter, biasanya akan melakukan intervensi pasar atau biasa disebut ‘berada di pasar’ dengan menggelontorkan valuta asing (USD) yang diambil dari cadangan devisa (cadev). Biasanya, ini dilakukan ketika rupiah benar-benar sudah berada jauh di bawah fundamentalnya alias melemah sangat tajam terhadap dolar AS.
Dengan sinergi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia, maka nilai tukar rupiah akan tetap stabil dan mempengaruhi secara positif terhadap perekonomian nasional.
Kerap ditemui banyak kalangan pedagangan atau pelaku usaha yang menawarkan jasa dan menjual produknya dengan harga yang dipatok per dolar AS. Oleh karena itu, mau tidak mau akan memicu orang banyak membeli dollar hanya untuk bertransaksi di dalam negeri. Jika kita hanya bertransaksi untuk aktifitas di dalam negeri, tidak ada salahnya kita menggunakan Rupiah.