Senin 25 Jul 2022 14:30 WIB

Ada Bahaya dan Risiko dari Digitalisasi, CIPS: Butuh Payung Hukum Perlindungan Konsumen

Transformasi digital yang membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat membawa bahaya dan risiko. Selengkapnya klik di sini.

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Ruang Digital (Unsplash/ Daria Shevtsova)
Foto: Warta ekonomi
Ruang Digital (Unsplash/ Daria Shevtsova)

Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, transformasi digital yang membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama di sektor ekonomi, membawa bahaya dan risiko sehingga diperlukan payung hukum untuk melindungi pengguna teknologi digital.

"Perlindungan ini tidak semata mencakup perlindungan konsumen dalam sebuah lanskap ekonomi digital, namun juga perlindungan kebebasan sipil dalam sistem demokrasi yang membalut perekonomian tersebut,” ujar Pingkan dalam keterangan resminya, Senin (25/7/2022).

Untuk mendukung optimalisasi perkembangan digitalisasi yang pesat dalam usaha menciptakan sebuah ekonomi digital yang aman dan inklusif, menurutnya, selain literasi digital, masyarakat juga perlu memiliki pengetahuan memadai mengenai kebebasan sipil dan keadilan.

Baca Juga: Tingkatkan Customer Experience, PLN Luncurkan EV Digital Services

"Baik pelaku usaha, regulator maupun konsumen dalam transaksi digital harus tahu mengenai peran, hak dan kewajiban mereka masing masing dan juga bagaimana menyikapi kasus pelanggaran hak konsumen di era digital," katanya.

Ia menjelaskan dibutuhkan juga kebijakan serta mekanisme penyelenggaraan dan proses hukum yang jelas dalam menciptakan ekosistem ekonomi digital terintegrasi berdasarkan prinsip hak asasi manusia.

Misalnya, Pingkan memberi contoh terkait pengambil keputusan dan pembuat kebijakan sebaiknya harus dapat memastikan terciptanya praktik tata kelola platform digital yang bertanggung jawab serta yang melindungi hak masyarakatnya.

"Berbicara mengenai penyelenggaraan tata kelola platform digital tak bisa lepas dari permasalahan perlindungan data dan hak konsumen maupun regulasi model bisnis terkait sengketa daring," ungkapnya.

Dalam hal ini, Pingkan menjelaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu direvisi atau diamandemen karena belum menyesuaikan diri dengan perubahan, tantangan dan risiko yang timbul dari transformasi digital yang berjalan pesat ini.

“Berdasarkan penelitian CIPS, meskipun UU PK secara umum telah menjabarkan hak-hak konsumen, UU ini masih belum mengakomodasi hak-hak konsumen dalam transaksi digital sebab beberapa ketentuan terkait transaksi digital belum dibahas secara memadai. Revisi dibutuhkan untuk menjawab berbagai perkembangan dalam transformasi digital,” jelas Pingkan.

CIPS meyakini proses transformasi digital untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah, terutama dalam pembuatan kebijakan, agar kebijakan yang ada dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan tidak menimbulkan resistensi.

"Kelompok peran yang terlibat, yaitu pemerintah, pelaku usaha dan konsumen, perlu juga mendefinisikan dan menyetujui bersama apakah hak-hak konsumen dalam layanan digital, serta apakah regulasi yang dapat melindungi hak-hak tersebut," tutupnya.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement